Realisme Ilmu Hubungan Internasional (H. Yudhi)
Realisme Ilmu Hubungan Internasional (H. Yudhi).
Realisme (hubungan internasional)
Realisme adalah mazhab teori hubungan internasional. Realisme adalah "spektrum ide" yang berpusat pada empat ide utama, yaitu grupisme politik, egoisme, anarki internasional, dan politik kekuasaan. Teori realisme politik berawal dari tulisan-tulisan Thomas Hobbes dan Niccolò Machiavelli, kemudian muncul sebagai pendekatan berbasis hubungan internasional pada masa selang antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Asumsi umum
Realisme adalah tradisi hubungan internasional yang berpusat pada empat ide utama.
1. Sistem internasional bersifat anarki.
o Tidak ada aktor di atas negara yang mampu mengatur interaksinya; negara harus membina sendiri hubungan dengan negara lain, tidak diatur oleh entitas yang lebih tinggi.
o Sistem internasional ada dalam keadaan antagonisme tetap (lihat anarki internasional).
2. Negara adalah aktor terpenting.
3. Semua negara di dalam sistem adalah aktor tunggal yang rasional
o Negara cenderung mengejar kepentingan pribadi.
o Kelompok berusaha meraup sumber daya sebanyak mungkin (lihat keunggulan relatif).
4. Masalah utama bagi setiap negara adalah kelangsungan hidup (survival).
o Negara membangun militer untuk bertahan hidup, sehingga bisa menciptakan dilema keamanan.
Sejarah dan cabang
Realisme klasik
Realisme klasik menyatakan bahwa memang sudah sifat manusia untuk memaksa negara dan individu mengutamakan kepentingan di atas ideologi. Realisme klasik adalah ideologi yang memandang bahwa "pencarian kekuasaan dan niat untuk mendominasi adalah aspek mendasar sifat manusia".
Realisme modern bermula sebagai bidang penelitian mendalam di Amerika Serikat sepanjang dan setelah Perang Dunia II. Perubahan ini ikut dipengaruhi oleh para pengungsi perang Eropa seperti Hans Morgenthau.
Realisme klasik dan modern ternama:
• George F. Kennan – pengurungan (containment)
• Nicholas Spykman – geostrategi, pengurungan
• Herman Kahn – strategi nuklir
• E. H. Carr
• Hans J. Morgenthau
Realisme liberal
Mazhab Inggris percaya bahwa sistem internasional, meski strukturnya anarkis, membentuk "perkumpulan negara" yang norma dan kepentingan bersamanya memungkinkan adanya keteraturan dan stabilitas yang lebih baik daripada yang diberikan oleh realisme ketat. Buku karya penulis Mazhab Inggris ternama Hedley Bull, The Anarchical Society (1977), menjelaskan secara lengkap aliran ini
Realis liberal ternama:
• Hedley Bull
• Martin Wight
• Barry Buzan
Neorealisme atau realisme struktural
Neorealisme berasal dari realisme klasik. Namun bukannya berfokus pada sifat manusia, neorealisme lebih berfokus pada struktur anarkis sistem internasional. Negara adalah aktor utama karena tidak ada monopoli politik pada kekuatan di atas negara berdaulat manapun. Walaupun negara masih menjadi aktor utama, perhatian yang lebih besar ditujukan pada kekuatan di atas dan dibawah negara melalui tingkat analisis atau perdebatan struktur-agen. Sistem internasional dilihat sebagai struktur yang bertindak terhadap negara, sedangkan individu di bawah negara bertindak sebagai agen terhadap negara secara keseluruhan.
Meski neorealisme memiliki fokus sistem internasional yang sama seperti mazhab Inggris, neorealisme memiliki penekanan yang berbeda pada sifat permanen suatu konflik. Untuk menjamin keamanan negara, negara harus bersiap menghadapi konflik melalui pembangunan ekonomi dan militer.
Neorealis ternama:
• Robert J. Art – neorealisme
• Robert Jervis – realisme defensif
• Kenneth Waltz – realisme struktural
• Stephen Walt – realisme defensif
• John Mearsheimer – realisme ofensif
• Robert Gilpin – teori hegemoni
Realisme neoklasik
Realisme neoklasik dapat dilihat sebagai generasi ketiga realisme yang muncul setelah penulis klasik gelombang pertama (Thucydides, Machiavelli, Thomas Hobbes) dan kaum neorealis (khususnya Kenneth Waltz). Kata "neoklasik"-nya memiliki makna ganda: Realisme neoklasik menawarkan sifat klasiknya renaisans, atau realisme neoklasik adalah gabungan pendekatan neorealis dan realis klasik. Gideon Rose merupakan pencipta istilah ini dalam sebuah buku yang ia tulis.
Realisme kiri
Sejumlah pakar, termasuk Mark Laffey di School of Oriental and African Studies, dan Ronald Osborn di University of Southern California, berpendapat tentang "realisme kiri" dalam teori hubungan internasional sambil merujuk pada karya Noam Chomsky. Laffey dan Osborn sama-sama menulis di artikel terpisah di Review of International Studies bahwa pemahaman Chomsky tentang kekuatan di lingkup internasional mencerminkan asumsi analitis realisme klasik ditambah kritik moral radikal yang normatif atau "kiri" terhadap negara.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Realisme_%28hubungan_internasional%29
Teori Realisme: Pengertian dalam Hubungan Internasional dan Asumsinya
Realisme merupakan salah satu grand theory dalam ilmu politik untuk menjelaskan hubungan politik internasional. Teori realisme merupakan salah satu pendekatan yang paling berpengaruh dalam hubungan internasional, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II. Dikutip dalam buku Dasar-Dasar Hubungan Internasional (2017) oleh Umar Suryadi Bakry, teori realis dianggap oleh mayoritas ahli sebagai tradisi definitif dalam bidang hubungan internasional. Teori realisme dalam hubungan internasional menempatkan konsep power sebagai pusat dari semua perilaku negara-bangsa. Teori ini berasumsi bahwa negara-negara bertindak untuk memaksimalkan power mereka, sehingga dapat mencapai tujuan mereka sendiri dengan lebih baik.
Asumsi teori realisme Beberapa asumsi teori realisme dalam hubungan internasional, sebagai berikut: Negara-negara berada dalam sebuah dunia di mana tidak ada otoritas tertinggi yang dapat menegakkan aturan dan ketertiban. Artinya, negara-negara hidup dalam dunia yang anarki. Negara merupakan akor utama dalam hubungan internasional. Meski aktor-aktor lain dalam hubungan internasional terus berkembang, posisi dan peran mereka tetap sekunder dalam politik dunia. Negara merupakan aktor yang cukup rasional yang dapat mengenali situasi internasional di mana mereka menentukan diri mereka sendiri dengan segala risiko dan peluang yang ada dalam ranah internasional. Sebagai akibat dari realitas anarki, keamanan merupakan masalah utama dalam politik internasional. Negara-negara hidup dalam sebuah sistem internasional di mana perang dan kekerasan selalu mengintai. Upaya menciptakan keamanan merupakan upaya yang sangat kompetitif, karena kompetisi dan konflik melekat dalam politik dunia dan hubungan antarnegara.
Cabang-cabang teori realisme Disadur dari The Oxford Handbook of International Relations (2010) oleh Robert E Goodin, berikut cabang teori realisme, di antaranya: Realisme klasik Realisme klasik menungkapkan bahwa sifat manusia untuk memaksa negara dan indivudu mengutamakan kepentingan di atas ideologi sudah ada dari dulu. Selain realisme klasik ada juga realisme modern yang bermula sebagai bidang penelitian mendalam di Amerika Serikat sepanjang Perang Dunia II. Realisme liberal percaya bahwa sistem internasional meski strukturnya anarkis, membentuk perkumpulan negara yang norma dan kepentingan bersamanya memungkinkan adanya keteraturan dan stabilitas yang lebih baik daripada yang diberikan oleh realisme ketat.
Nonrealisme berfous pada struktur anarkis sistem internasional. Negara adalah aktor utama karena tidak ada monopoli politik pada kekuatan di atas negara berdaulat manapun. Sistem internasional dilihat sebagai struktur yang bertindak terhadap negara, sedangkan individu di bawa negara bertindak sebagai agen terhadap negara secara keseluruhan.
Sumber: https://www.kompas.com/skola/read/2022/08/02/140000069/teori-realisme-pengertian-dalam-hubungan-internasional-dan-asumsinya.
Teori Realisme dalam Hubungan Internasional: Pemahaman dan Implikasinya
Teori realisme merupakan salah satu teori utama dalam studi hubungan internasional yang menekankan pentingnya kekuasaan dan kepentingan nasional dalam menentukan perilaku negara. Realisme, dengan berbagai varian dan konsep dasarnya, memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dinamika politik global. Artikel ini akan mengulas asal-usul, prinsip-prinsip utama, dan implikasi teori realisme dalam hubungan internasional.
Asal-usul dan Tokoh Kunci
Teori realisme memiliki akar yang dalam dalam sejarah pemikiran politik. Beberapa tokoh kunci yang berkontribusi pada perkembangan teori ini antara lain:
1. Thucydides: Sejarawan Yunani kuno yang karyanya “The History of the Peloponnesian War” sering dianggap sebagai dasar dari pemikiran realis. Ia menekankan bahwa konflik dan kekuasaan adalah elemen kunci dalam politik antar negara.
2. Niccolò Machiavelli: Filsuf dan diplomat Italia yang karyanya “The Prince” memberikan pandangan pragmatis tentang kekuasaan dan politik, mengajarkan bahwa pemimpin harus realistis dan bersedia melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara.
3. Thomas Hobbes: Filsuf Inggris yang menggambarkan keadaan alamiah sebagai “perang semua melawan semua,” menekankan perlunya negara yang kuat untuk menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan.
4. Hans Morgenthau: Sarjana abad ke-20 yang dianggap sebagai bapak realisme modern dalam hubungan internasional. Bukunya “Politics Among Nations” merumuskan prinsip-prinsip dasar realisme, termasuk konsep bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan yang didorong oleh kepentingan nasional.
Prinsip-Prinsip Utama Teori Realisme
1. Anarki Internasional: Realisme berpendapat bahwa sistem internasional bersifat anarkis, tanpa otoritas sentral yang dapat mengatur perilaku negara. Ini menciptakan lingkungan di mana negara harus mengandalkan diri mereka sendiri untuk bertahan hidup.
2. Negara sebagai Aktor Utama: Negara dianggap sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, dan tindakan mereka didorong oleh kepentingan nasional yang sering kali diartikan sebagai kekuasaan dan keamanan.
3. Rasionalitas: Negara dianggap sebagai aktor rasional yang membuat keputusan berdasarkan kalkulasi untung-rugi untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka.
4. Prioritas Keamanan: Keamanan nasional adalah prioritas utama, karena tanpa keamanan, negara tidak dapat mencapai tujuan lain. Ini sering mengarah pada politik kekuasaan, di mana negara berusaha untuk meningkatkan kekuatan militer dan aliansi untuk melindungi diri.
5. Pesimisme tentang Kerjasama Internasional: Realisme skeptis terhadap kemungkinan kerjasama internasional yang stabil dan bertahan lama. Meskipun negara dapat bekerja sama, kerjasama tersebut sering kali bersifat sementara dan didorong oleh kepentingan pribadi.
Implikasi Teori Realisme dalam Hubungan Internasional
1. Perlombaan Senjata dan Militerisasi: Karena fokus pada keamanan dan kekuasaan, realisme sering kali menjelaskan mengapa negara terlibat dalam perlombaan senjata dan meningkatkan kemampuan militer mereka, seperti yang terlihat dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
2. Aliansi dan Keseimbangan Kekuatan: Negara sering membentuk aliansi untuk menyeimbangkan kekuatan dan mencegah dominasi oleh satu negara atau koalisi. Contohnya adalah NATO yang dibentuk untuk menandingi kekuatan Soviet di Eropa.
3. Konflik dan Perang: Realisme memberikan kerangka kerja untuk memahami konflik dan perang sebagai hasil dari persaingan untuk kekuasaan dan keamanan. Perang sering dipandang sebagai cara negara untuk mengamankan kepentingan nasional mereka ketika cara lain gagal.
4. Skeptisisme terhadap Organisasi Internasional: Realisme skeptis terhadap efektivitas organisasi internasional seperti PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Mereka melihat organisasi tersebut sering kali didominasi oleh kepentingan negara-negara kuat.
Kritik terhadap Teori Realisme
1. Kurangnya Perhatian pada Faktor Non-Negara: Kritik terhadap realisme menunjukkan bahwa teori ini terlalu fokus pada negara sebagai aktor utama dan mengabaikan peran aktor non-negara seperti perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah, dan kelompok teroris.
2. Determinisme dan Pesimisme: Realisme sering dikritik karena pandangan yang terlalu pesimis tentang hubungan internasional dan determinisme bahwa konflik dan perang adalah tak terhindarkan.
3. Tidak Memadai dalam Menjelaskan Perubahan dan Kerjasama: Teori ini dianggap tidak memadai dalam menjelaskan perubahan besar dalam politik internasional, seperti berakhirnya Perang Dingin, dan kecenderungan untuk mengabaikan potensi kerjasama internasional yang konstruktif.
Kesimpulan
Teori realisme tetap menjadi salah satu pendekatan utama dalam studi hubungan internasional karena kemampuannya untuk menjelaskan banyak dinamika kekuasaan dan konflik di dunia. Meskipun demikian, kritik dan perkembangan teori baru terus menantang dan memperkaya pemahaman kita tentang hubungan internasional. Realisme menawarkan pandangan yang kuat tentang pentingnya kekuasaan dan kepentingan nasional, tetapi juga mengingatkan kita akan kompleksitas dan keragaman faktor yang mempengaruhi politik global.
Sumber: https://bpmpp.uma.ac.id/2024/07/27/teori-realisme-dalam-hubungan-internasional-pemahaman-dan-implikasinya/
Mengenal Teori Realisme dalam Hubungan Internasional
Realisme merupakan suatu teori yang yang paling sering terdengar di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional yang dikemukakan oleh Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes. Teori Realisme sangat mendominasi saat perang dingin terjadi, yang mana menjelaskan mengenai perang dan aliansi yang terjadi saat itu. Realisme selalu berpendapat berdasarkan pandangan yang sebenarnya, bukan pada apa yang seharusnya. Mereka juga berpendapat jika prinsip moral tidak bisa diterapkan dalam memahami perilaku politik. Meskipun begitu realisme bukanlah teori yang tunggal. Realisme dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu realisme klasik dan neo-realisme.
Realisme klasik dikemukakan oleh Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan Morgenthau. Hans J. Morgenthau meyakini jika negara memiliki sifat yang sama dengan manusia (human nature) yang memiliki sifat egois untuk mendominasi sesuatu dari lainnya, karena keinginan untuk mendominasi inilah yang membuat mereka melakukan perang. Kemudian Thucydides mengatakan jika perang merupakan sebuah langkah yang cukup ampuh untuk stabilitas, karena negara tidak opsi lain selain melakukan pemerintahan yang anarki. Hobbes menciptakan tiga asumsi mengenai realisme klasik, yaitu :
1. Men are equal, yang artinya tiap manusia itu setara, antara laki-laki dan perempuan itu sama.
2. They interact in anarchy, karena tidak adanya pemerintahan tertinggi sehingga tidak ada yang menjamin keamanan mereka dalam situasi perang.
3. They are driven by competition, diffidence and glory, menurut realis perang merupakan solusi untuk menyeleksaikan konflik yang terjadi antar negara. Menurut mereka politik internasional itu adalah power politics, yang dianggap sebagai sebuah tempat untuk saling bersaing, konflik, dan perang untuk mempertahankan kepentingan masing-masing negara.
Sedangkan Neo-realisme yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz tidak melihat sifat dasar manusia seperti yang dikemukakan oleh Hobbes, namun Neo-realis lebih fokus melihat pada akibat dari sistem internasional dan fokus dengan peningkatan kerjasama dan kesetaraan. Menurut Waltz international system itu terdiri dari beberapa negara besar yang sama-sama berusaha untuk bertahan. karena dunia ini anarki, jadi mereka harus berusaha sendiri untuk mempertahankan negaranya. Waltz juga berpendapat karena hal inilah negara yang memiliki less power saling bersekutu untuk mengimbangi dan melawan negara-negara great power, bukannya malah bergabung dengan negara high power. Neo-realis beranggapan jika sistem internasional itu anarki maka akan memberikan pengaruh kepada perilaku suatu negara.
Adapun perbedaan antara reealisme dengan Neo-realisme, yaitu menurut realis politik internasional merupakan aksi negara dalam sistem, sedangkan menurut neo-realis pengaruh dari struktur itu harus dipertimbangkan.
Power menurut realis merupakan tujuan akhir, sedangkan neo-realis menganggap power adalah kemampuan gabungan antara negara, power juga memberikan tempat untuk sebuah negara dalam sistem internasional.
Menurut realis anarki merupakan suatu kondisi sistem, sedangkan no-realis anarki itu yang membentuk sistem.
Dapat disimpulkan jika teori Neo-realisme itu ada untuk menyempurnakan teori sebelumnya. Maka dari itu, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat, namun masih ada kesamaan jika negara memerlukan power. Baik realis ataupun neo-realis itu sama-sama berbicara mengenai power.
Perbedaannya terletak di bagaimana caranya memperoleh power tersebut. Dalam realis power diperoleh dari negara sehingga kepemilikannya itu mutlak, sedangkan neo-realis power itu bisa dibagi antar negara yang less power dan negara yang great power.
Sumber: https://kumparan.com/01_eka-puja/mengenal-teori-realisme-dalam-hubungan-internasional-23FvBtnltVg
Memahami Teori dalam Ilmu Hubungan Internasional: Realisme, Neorelisme
Teori-teori besar dalam Hubungan Internasional (HI) seperti Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme merupakan perspektif-perspektif penting yang digunakan para akademisi, praktisi, hingga mahasiswa untuk memahami bagaimana negara-negara berinteraksi dalam sistem global. Setiap teori memiliki asumsi dasar dan pandangan yang berbeda tentang perilaku negara, peran institusi, dan cara dunia beroperasi.
Artikel ini tidak hanya akan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara teori-teori tersebut, tetapi juga menunjukkan bagaimana teori-teori tersebut diterapkan dalam konteks nyata, dengan studi kasus yang relevan.
Realisme: Kekuasaan dan Keamanan di Dunia yang Anarkis
Realisme adalah teori yang berakar pada pemikiran Machiavelli dan Hobbes, serta berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Hans Morgenthau, salah satu tokoh utama dalam realisme, berpendapat bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan. Negara harus fokus pada kepentingan nasionalnya dan realistis dalam mengambil keputusan, karena dunia tidak pernah benar-benar damai.
Asumsi dasar dari teori realisme dalam hubungan internasional adalah bahwa sistem internasional bersifat anarkis. Dalam hal ini, tidak ada otoritas tunggal yang dapat mengatur atau memediasi dinamika dalam sistem internasional.
Selain itu, sistem internasional cenderung konfliktual, yang membuat setiap negara merasa tidak aman (insecure) dan terpaksa berusaha untuk bertahan hidup (survival). Dalam situasi seperti ini, negara-negara diharapkan dapat mengandalkan diri mereka sendiri (self-help) dalam menghadapi tantangan atau ancaman yang ada maupun yang akan datang.
Lalu, kepercayaan antar negara (trust) menjadi sangat sulit untuk dibangun, karena dapat menimbulkan apa yang disebut sebagai dilema keamanan (security dilemma). Dilema ini terjadi ketika satu negara yang meningkatkan kemampuan militernya justru membuat negara lain merasa terancam, sehingga negara tersebut juga merasa perlu untuk meningkatkan pertahanan mereka.
Hal ini menciptakan siklus ketidakpercayaan dan ketegangan yang dapat mengarah pada konflik. Dengan demikian, pendekatan realis menekankan pentingnya kekuatan militer dan kepentingan nasional dalam merumuskan kebijakan luar negeri, serta mengakui bahwa konflik adalah bagian tak terpisahkan dari hubungan antar negara.
Contoh Kasus: Perang Dingin (1947-1991)
Perang Dingin adalah contoh klasik penerapan teori Realisme. Dalam hal ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing untuk menjadi kekuatan dominan di dunia. Masing-masing negara memperkuat kekuatan militer mereka, terutama dalam pengembangan senjata nuklir, sebagai cara untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
Mereka juga membangun aliansi militer melalui NATO dan Pakta Warsawa, yang mencerminkan strategi realis untuk mengumpulkan kekuatan dan memastikan keamanan di dunia yang dianggap penuh dengan ancaman.
Melalui persaingan ini, ideologi juga memainkan peran penting, namun kekuasaan dan keamanan tetap menjadi fokus utama. Keduanya terlibat dalam perang proksi di berbagai belahan dunia, seperti Perang Korea dan Perang Vietnam, sebagai cara untuk memperluas pengaruh tanpa terlibat dalam konflik langsung.
Menurut pandangan realis, Perang Dingin adalah bentuk dari “zero-sum game”, di mana keuntungan satu pihak dianggap sebagai kerugian pihak lain.
Neorealisme: Struktur Anarki dan Keseimbangan Kekuatan
Neorealisme, atau Realisme Struktural, yang dipelopori oleh Kenneth Waltz, mengambil pendekatan berbeda dari Realisme klasik. Sementara realisme berfokus pada sifat manusia dan motivasi negara untuk mendapatkan kekuasaan, Neorealisme lebih memusatkan perhatian pada struktur sistem internasional. Menurut Neorealisme, anarki yang ada dalam sistem internasional adalah penyebab utama konflik, bukan sifat manusia atau niat negara.
Waltz berpendapat bahwa posisi negara dalam sistem internasional ditentukan oleh distribusi kekuasaan, dan perilaku negara ditentukan oleh kebutuhan untuk bertahan hidup dalam sistem yang anarkis.
Negara-negara besar cenderung mendominasi sistem, sementara negara-negara kecil harus menyesuaikan diri untuk bertahan hidup. Fokus utama Neorealisme adalah menjaga keseimbangan kekuatan dalam sistem internasional agar tidak ada satu negara yang terlalu dominan atau disebut (Ballance Of Power).
Dalam sistem internasional yang bersifat anarkis dan konflikual, suatu negara akan melakukan perimbangan kekuatan untuk menyeimbangkan kekuatan negara lain. Negara tersebut dapat meningkatkan kekuatannya dengan cara membentuk aliansi dan berkolaborasi dengan negara-negara lain yang memiliki kekuatan besar.
Oleh karena itu, mereka akan meningkatkan kekuatan militernya serta mengupayakan pencapaian kepentingan nasionalnya. Upaya ini mencakup pengembangan strategi pertahanan, peningkatan kapasitas militer, dan diplomasi untuk menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan.
Melalui langkah-langkah ini, suatu negara berusaha untuk melindungi kedaulatan dan integritas wilayahnya serta mempertahankan posisinya di panggung internasional.
Contoh Kasus: Perlombaan Senjata Nuklir Pasca-Perang Dingin
Dalam era pasca-Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China merupakan salah satu contoh penerapan Neorealisme.
Neorealis percaya bahwa distribusi kekuatan di antara negara-negara besar menentukan stabilitas internasional. Jika salah satu negara terlalu kuat, negara lain akan merasa terancam dan berusaha memperkuat diri untuk menjaga keseimbangan kekuatan.
Perlombaan nuklir ini tidak hanya soal keamanan, tetapi juga simbol status kekuatan di dunia internasional. Menurut Neorealisme, anarki dalam sistem internasional mendorong negara-negara untuk terus memperkuat kemampuan pertahanan mereka guna memastikan bahwa mereka tidak ditundukkan oleh negara lain.
Inilah sebabnya, meskipun tidak ada ancaman langsung konflik besar, negara-negara tetap berlomba untuk memodernisasi dan memperluas persenjataan mereka sebagai bentuk “deterrence” atau pencegahan terhadap potensi serangan.
Sumber: https://www.kompasiana.com/ferrymario027224/670be14134777c08044824c5/memahami-teori-dalam-ilmu-hubungan-internasional-realisme-neorealisme-liberalisme-dan-neorealisme?page=3&page_images=1
Realisme pada era Modern dalam sudut pandang Hubungan Internasional
Pada era modern sekarang ini hubungan antar Negara sudah merupakan suatu kebutuhan untuk tetap menjalankan negaranya dengan ekonomi dan keamanan yang stabil. Terori realisme muncul saat perang dunia II sebagai penolakan atas pandangan liberalisme yang dianggap terlalu menyepelekan konsep power dalam Hubungan Internasional. Menyoroti kegagalan liga bangsa-bangsa dan pecahnya perang Dunia II semakin menguatkan Realisme sebagai sebuah posisi Koheren atau prespektif dalam Hubungan Internasional.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang jahat dalam artian manusia akan selalu bersaing dengan manusia lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu kaum realis memandang bahwa dunia internasional selalu dipenuhi dengan konflik kepentingan dan menolak asumsi liberalisme. Berdasarkan pandangan realisme terhadap sistem internasional Negara yaitu faktor utama dalam sistem internasional tidak ada kekuasaan lebih tinggi diatas Negara, sehingga kaum realis merasa tidak yakin akan adanya kemajuan dalam politik internasional, Negara akan mengutamakan kepentingan nasional mereka dan Negara akan melakukan kerjasama jika hal tersebut dapat memenuhi kepentingan nasional mereka.
Dalam era modern ini, teori realisme masih bisa dipandang sebagai teori perspektif yang cukup kuat dalam menjelaskan fenomena internasional di masa sekarang. Globalisasi adalah bentuk yang nyata dari kegiatan suatu Negara untuk semakin memperluas kekuasaannya. Dan globalisasi ini dapat diartikan sebagai proses pembawa nilai tertentu dari Negara asal untuk dipahami dalam suatu keberhasilan apabila nilai tersebut berkuasa di Negara tujuan.
Contoh dari fenomena internasioanal yang bisa dijelaskan teori realis pada masa ini yaitu pengembangan sejata nuklir Korea Utara, Korea Utara mengembangkan senjata nuklirnya bukan tanpa alasan rasional. Dengan melakukan pendekatan teori realis, Kore Utara mengedepankan agenda pengembangan senjata nuklirnya karena Negara ini sadar bahwa Korea Utara adalah Negara yang lemah ditenggah-tengah dunia yang anarki, sehingga mereka sangat rawan terhadap dominasi dari kekuatan yang lebih besar dalam kasus ini, kekuatan yang lebih besar itu adalah Negara-negara barat dengan segala ideologinya yang sangat bertentangan dengan ideologi Korea Utara. Oleh karena itu Korea Utara harus mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatkan keamanan nasional dan dengan memperkuat persenjataan nuklirnya demi mencapai kepentingan nasionalnya.
Sumber: https://www.kompasiana.com/triambarrw2696/5e6b48a6097f3656ab748b22/realisme-di-era-modern
Realisme Adalah Teori Menjelaskan Realitas Politik Internasional, Ketahui Dasar dan Sejarahnya
Melansir dari laman E-International Relation, dalam disiplin hubungan Internasional, realisme adalah aliran pemikiran yang lebih menekan pada sisi kompetitif serta konfliktual dari hubungan internasional. Perlu diketahui bahwa akar realisme juga sering dijumpai dalam beberapa tulisan sejarah paling awal umat manusia, khususnya sejarah Thucydides tentang Perang Peloponnesia, yang berkecamuk antara 431 dan 404 SM.
Thucydides, adalah tokoh yang telah menulis lebih dari dua ribu tahun lalu, meskipun bukanlah termasuk dalam golongan yang 'realis', namun ketika ditinjau dari sudut pandang kontemporer, beberapa ahli juga menemukan banyak sekali kesamaan, baik itu dalam pola pikir dan perilaku dunia kuno dan dunia modern. Oleh karena itu, realisme adalah aliran pemikiran, di mana tulisannya memberi gagasan bahwa ada teori abadi yang mencakup semua sejarah manusia yang tercatat yaitu 'realisme'.
Realisme adalah teori yang juga mengklaim mampu menjelaskan realitas politik internasional, yang mencakup kendala politik yang dihasilkan dari sifat egois manusia dan tidak memiliki otoritas pusat di atas negara. Bagi kaum realis, tujuan tertinggi adalah kelangsungan hidup negara, yang juga menjabarkan tindakan negara yang dinilai berdasarkan etika tanggung jawab daripada prinsip moral. Namun perlu diketahui bahwa realisme terus memberikan wawasan yang berharga dan tetap menjadi alat analisis yang penting bagi setiap mahasiswa Hubungan Internasional.
Adapun dasar - dasar realisme yang perlu diketahui, antara lain:
- Asumsi pertama realisme adalah bahwa negara merupakan aktor utama yang sangat penting dalam hubungan internasional. Terdapat badan-badan seperti individu dan organisasi, namun kekuasaan yang dimiliki oleh mereka terbatas.
- Kedua, negara merupakan aktor kesatuan, di mana terdapat kepentingan nasional, terutama di masa perang, memimpin negara untuk berbicara dan bertindak dengan satu suara.
- Ketiga, pengambil keputusan yang dilakukan bisa secara rasional dalam arti bahwa pengambilan keputusan yang rasional mengarah pada pengejaran kepentingan nasional.
Realisme mampu menunjukkan bahwa semua pemimpin, tidak akan peduli terhadap persuasi politik mereka, oleh karean itu untuk mengakui hal ini, maka mereka berusaha untuk mengelola urusan negara untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang kompetitif. Akhirnya, negara hidup dalam konteks anarki, di mana tidak ada siapa pun yang bertanggung jawab secara internasional.
Analogi yang sering digunakan tentang 'tidak ada yang bisa dihubungi' dalam keadaan darurat internasional membantu menggarisbawahi hal ini. Di negara bagian kita sendiri, biasanya memiliki pasukan polisi, militer, pengadilan, dan sebagainya. Sehingga ketika ada dalam keadaan darurat kita memiliki harapan bahwa lembaga-lembaga ini akan 'melakukan sesuatu' sebagai tanggapan. Secara internasional, tidak ada harapan yang jelas dari siapa pun atau apa pun yang 'melakukan sesuatu' karena tidak ada hierarki yang mapan. Oleh karena itu, negara pada akhirnya hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Sejarah dan Teori Realisme
Karena realisme sering mengambil contoh dari masa lalu, maka terdapat banyak sekali penekanan pada gagasan bahwa manusia pada dasarnya disandera oleh pola perilaku yang secara berulang/ ditentukan oleh sifatnya. Inti dari asumsi ini menekankan bahwa pandangan tentang manusia itu egois dan menginginkan kekuasaan. Realis percaya bahwa keegoisan, nafsu serta kekuasaan dan ketidakmampuan kita untuk mempercayai orang lain mengarah pada hasil yang dapat diprediksi.
Niccolò Machiavelli berfokus pada bagaimana karakteristik dasar manusia mempengaruhi keamanan negara, sehingga mempengaruhi pandangan terhadap politik realis. Dalam The Prince (1532), Machiavelli menekankan bahwa perhatian utama seorang pemimpin adalah untuk mempromosikan keamanan nasional. Dalam pandangan Machiavelli, penguasa mematuhi 'etika tanggung jawab' daripada moralitas agama secara konvensional yang memang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup negara.
Melansir dari sumber yang sama, setelah Perang Dunia Kedua, Hans Morgenthau (1948) berusaha mengembangkan teori internasional yang komprehensif, yang dapat diatur oleh hukum di mana dapat berakar pada sifat manusia. Fokus Hans adalah untuk memperjelas hubungan antara kepentingan dan moralitas dalam politik internasional, dan karyanya banyak menarik wawasan tokoh-tokoh sejarah seperti Thucydides dan Machiavelli. Morgenthau juga menetapkan pendekatan yang menekankan kekuasaan atas moralitas, di mana setiap tindakan politik diarahkan untuk mempertahankan, meningkatkan, atau menunjukkan kekuasaan.
Dalam Theory of International Politics (1979), Kenneth Waltz juga memodernisasi teori HI dengan menjauhkan realisme dari asumsinya yang tidak dapat dibuktikan meskipun secara persuasif, tentang sifat manusia. Kontribusi teoretisnya disebut 'neorealisme' atau 'realisme struktural' karena ia menekankan gagasan 'struktur' dalam penjelasannya. Waltz menawarkan versi realisme yang merekomendasikan agar para ahli teori memeriksa karakteristik sistem internasional untuk mendapatkan jawaban daripada menyelidiki kekurangan dalam sifat manusia. Gagasan seperti sifat manusia adalah asumsi yang didasarkan pada pandangan filosofis tertentu yang tidak dapat diukur dengan cara yang sama.
Realisme dan Kelompok Negara Islam
Kelompok Negara Islam (juga dikenal sebagai IS, Daesh, ISIS atau ISIL) merupakan kelompok militan yang mengikuti doktrin fundamentalis Islam Sunni. Pada bulan Juni 2014, kelompok itu menerbitkan sebuah dokumen yang mengklaim telah melacak garis keturunan pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi, kembali ke nabi Muhammad. Kelompok itu kemudian menunjuk al-Baghdadi sebagai 'khalifah'.
Sebagai khalifah, al-Baghdadi menuntut kesetiaan umat Islam yang taat di seluruh dunia dan kelompok serta pendukungnya mulai melakukan berbagai tindakan ekstrem dan biadab. Banyak dari ini ditargetkan di kota-kota di negara-negara Barat seperti Melbourne, Manchester dan Paris - yang telah menyebabkan masalah menjadi global, dan pada akhirnya, tujuannya adalah untuk menciptakan Negara Islam (atau Khilafah) dalam hal geopolitik, budaya dan politik dan untuk mencegah (melalui penggunaan terorisme dan tindakan ekstrim) kekuatan Barat atau regional dari campur tangan dalam proses ini.
Meski bukan negara yang diakui secara resmi, dengan merebut dan menguasai wilayah di Irak dan Suriah, kelompok ISIS jelas memiliki aspek kenegaraan. Bagian utama dari upaya untuk memerangi kelompok Negara Islam terdiri dari serangan udara terhadap posisinya, dikombinasikan dengan strategi militer lainnya seperti menggunakan pasukan lokal sekutu untuk merebut kembali wilayah (terutama di Irak).
Hal ini menunjukkan bahwa perang dianggap sebagai metode paling efektif untuk mengimbangi meningkatnya kekuatan terorisme di Timur Tengah dan menetralisir ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok Negara Islam tidak hanya kepada negara-negara Barat tetapi juga negara-negara di kawasan tersebut. Jadi, sementara terorisme transnasional, seperti yang dilakukan oleh kelompok Negara Islam, merupakan ancaman yang relatif baru dalam hubungan internasional, negara-negara mengandalkan strategi lama yang konsisten dengan realisme untuk menghadapinya.
Negara pada akhirnya mengandalkan swadaya untuk menjamin keamanan mereka sendiri. Dalam konteks ini, realis memiliki dua strategi utama untuk mengelola ketidakamanan:
- Keseimbangan kekuatan dan pencegahan
Keseimbangan kekuatan bergantung pada aliansi strategis dan fleksibel, sementara pencegahan bergantung pada ancaman (atau penggunaan) kekuatan yang signifikan.
a. Pertama, koalisi longgar negara-negara yang menyerang kelompok Negara Islam – negara-negara seperti AS, Rusia dan Prancis – mengandalkan berbagai aliansi cuaca cerah dengan kekuatan regional seperti Arab Saudi, Turki dan Iran. Pada saat yang sama, mereka meremehkan peran organisasi internasional karena menyepakati tindakan di tempat-tempat seperti PBB sulit karena persaingan negara.
b. Kedua, menghalangi musuh dengan kekuatan yang luar biasa dan superior (atau ancamannya) dianggap sebagai metode tercepat untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Negara Islam. Ketika ditinjau lagi, kekuatan militer Negara Islam bila dibandingkan dengan kekuatan militer AS, Prancis atau Rusia tampaknya mengkonfirmasi suatu rasionalitas keputusan, di mana terletak penekanan realisme pada pentingnya konsep-konsep seperti pencegahan, tetapi juga pada pandangan negara.
Poin kunci dalam memahami realisme adalah bahwa itu merupakan suatu teori yang berpendapat bahwa tindakan buruk seperti perang adalah alat yang diperlukan dari tata negara di dunia yang tidak sempurna dan para pemimpin harus menggunakannya ketika itu untuk kepentingan nasional.
Sumber: https://www.liputan6.com/hot/read/5076032/realisme-adalah-teori-menjelaskan-realitas-politik-internasional-ketahui-dasar-dan-sejarahnya?page=4
Blog ini dibuat dengan tujuan untuk menambah ilmu si Pembaca, tidak ada keuntungan Ekonomi sedikitpun yang diperoleh dari Pembuat. Tulisan diatas merupakan gabungan beberapa artikel dan ditulis juga sumbernya.
Blog nya sudah bagus Pak Haji, namun perlu di tuning agar membaca nya tidak terlalu di jejali oleh tulisan, ada baiknya dimasukkan gambar untuk menunjang tulisan anda tersebut.
ReplyDelete