Imam Jakfar RA (H. Yudhi)

Imam Jakfar RA (H. Yudhi) Ja'far ash-Shadiq , nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Syi'ah maupun sunni. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di Pemakaman Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas Imam. #Kelahiran dan kehidupan keluarga# Kelahiran# Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 20 April 702 Masehi. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya bernama Fatimah (beberapa riwayat menyatakan Ummu Farwah) binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri pamannya, Abdurahman bin Abu Bakar. #Keluarga# Ia memiliki saudara seibu yang bernama Abdullah bin Muhammad. Sedangkan saudara lainnya yang berlainan ibu adalah Ibrahim dan Ubaydullah yang beribukan Umm Hakim binti Asid bin al-Mughirah. Ali dan Zaynab beribukan wanita hamba sahaya, dan Umm Salamah juga beribukan wanita hamba sahaya. #Keturunan# Anak laki-laki# Memiliki keturunan selanjutnya: 1. Isma'il al-A'raj (Imam ke-7 menurut Ismailiyah) 1. Muhammad al-Maktum 1. Isma'il ats-Tsani 2. Ja'far al-Akbar 2. 'Ali 1. Muhammad 2. Musa al-Kadzim (Imam ke-7 menurut Dua Belas Imam) 1. 'Ali ar-Ridha 2. Ibrahim al-Mujtaba 3. al-'Abbas 4. al-Qasim 5. Isma'il 6. Ja'far 7. Harun 8. 'Ala'uddin Husain, ia syahid di Syiraz, Iran. 9. Ahmad bin Musa, dikenal pula dengan julukan Syah Chiragh. Ia syahid di Syiraz, Iran. 10. Muhammad al-'Abid 11. Hamzah 12. 'Abdullah 13. Ishaq 14. 'Ubaidillah 15. Zaid 16. Hasan 17. Fadhal 18. Sulaiman 3. Ishaq al-Mu'tamin[1] 1. Muhammad 2. Hasan 3. Husain 4. Muhammad ad-Dibaj, yang mendeklarasikan dirinya sebagai Amirul Mukminin setelah Salat Jumat pada tanggal 6 Rabiul akhir 200 Hijriyah, dan kemudian berperang melawan Khalifah Abbasiyah pada saat itu, al-Ma'mun, tetapi dengan cepat ia tertangkap dan dibawa ke Khurasan. 1. Qasim 1. Abdullah 2. Yahya 2. Ali[4] 5. Ali al-Uraidhi, menetap di desa Uraidh dekat Madinah. 1. Ja'far al-Asghar 2. Ahmad asy-Sya'rani 3. Muhammad Jamaluddin an-Naqib 1. 'Isa ar-Rumi 1. Ahmad al-Muhajir Ilallah 4. Hasan Tidak memiliki keturunan selanjutnya: 1. Abdullah al-Afthah 2. Abbas 3. Yahya 4. Muhsin 5. Ja'far 6. Hasan 7. Muhammad al-Ashgar #Anak perempuan# 1. Fatimah binti Ja'far 2. Asma binti Ja'far 3. Ummu Farwah binti Ja'far #Kehidupan awal# Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah. Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah. #Meninggalnya# Karena meninggal, Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari kalangan Syi'ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah. Mendengar berita meninggalnya Ja'far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi'ah. Ketika gubernur Madinah melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung, dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana Al-Mansur menjadi gagal. Ia dimakamkan di pekuburan Baqi', Madinah, berdekatan dengan Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir. #Masa keimaman# Situasi politik pada zaman itu sangat menguntungkannya, sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Ja'far ash-Shadiq mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukannya meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan muridnya berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, di Eropa dikenal dengan nama Geber, seorang ahli matematika dan kimia, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama Sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi), al-Qodi As-Sukuni, Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki) dan lain-lain. Di zaman Imam Ja'far, terjadi pergolakan politik dimana rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang mereka lakukan selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleh Bani Abbasiyah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut balas dari Bani Hasyim". Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbasiyah mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiyah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu, ternyata Bani Abbasiyah memusuhi Ahlul Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. Pada 25 Syawal 148 H, Al-Mansur membuat Imam syahid dengan meracunnya. "Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syi'ah diracun dan dibunuh karena intrik Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah Illahi dan fatwa para pendahulunya." #Perkembangan Mazhab Dua Belas Imam# Perkembangan pesat Mazhab Dua Belas Imam# Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas Imam atau dikenal juga Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan kemusnahan Bani Umayyah. Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran Syi'ah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab Ja'fari. #Murid-murid Ja'far ash-Shadiq# Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Bani Umayyah dan awal dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Ia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti: • Zararah, • Muhammad bin Muslim, • Mukmin Thaq, • Hisyam bin Hakam, • Aban bin Taghlib, • Hisyam bin Salim, • Huraiz, • Hisyam Kaibi Nassabah, dan • Abu Musa Jabir Ibn Hayyan, ahli kimia. (di Eropa dikenal dengan nama Geber) Bahkan beberapa sarjana terkemuka Sunni seperti: • Sufyan ats-Tsauri, • Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi), • Qadhi Sukuni, • Qodhi Abu Bakhtari, • Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki) Mereka beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadist dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadist yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadits yang pernah dicatat dari Imam lainnya. #Sasaran dari khalifah yang berkuasa# Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh Al-Mansur, khalifah Bani Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan Nabi, yang merupakan kaum Syi'ah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman Bani Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka. #Penangkapannya# Hisyam, khalifah Bani Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh As-Saffah, khalifah Bani Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. Akhirnya Al-Mansur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarra, Iraq untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya di Madinah, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia Al-Mansur. #Riwayat mengenai Ja'far ash-Shadiq# Dari Malik bin Anas# Imam Malik menceritakan pribadi Imam Ja'far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104: "Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui dia kecuali dalam salah satu daripada keadaan-keadaan ini: 1. dia sedang salat, 2. dia sedang berpuasa, 3. dia sedang membaca kitab suci al-Qur'an. Aku tidak pernah melihat dia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah. Ia seorang yang paling bertaqwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja'far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan dan ilmu pengetahuannya."#Dari Abu Hanifah# Pada suatu ketika khalifah Al-Mansur dari Bani Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam Ja'far ash-Shadiq. Khalifah bertujuan untuk menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa banyak orang sangat tertarik kepada Imam Ja'far bin Muhammad karena ilmu pengetahuannya yang luas itu. Khalifah Al-Mansur meminta Abu Hanifah menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk diajukan kepada Imam Ja'far bin Muhammad di dalam perdebatan itu nanti. Sebenarnya Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan Imam Ja'far bin Muhammad, dengan cara itu dan membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja'far bin Muhammad tidaklah luas ilmunya. #Menurut Abu Hanifah,# "Al-Mansur meminta aku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku melihat Ja'far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku memandang Ja'far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa gentar dan takut menyelubungi diriku terhadap Ja'far bin Muhammad lebih daripada Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan dia memperkenalkanku kepada Ja'far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja'far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan dia menjawabnya satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik dia menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga dia selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku sediakan untuknya." Abu Hanifah berkata lagi,"Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?" Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata, "Aku tidak pernah melihat seorang ahli fiqih yang paling alim selain Ja'far bin Muhammad." #Imam Ja'far ash-Shadiq sering berkata# "Hadits-hadits yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadits-hadits dari bapakku adalah dari kakekku. Hadits-hadits dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadits-hadits dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadits-hadits dari Rasulullah SAW dan hadits-hadits dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla." ‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata,”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,’Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.” Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.” (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ja%27far_ash-Shadiq). *Imam Ja’far Ash-Shadiq Rahimahullah, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi’ah* #IMAM JA’FAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK SYI’AH# Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syi’ah. #NASAB DAN KEPRIBADIANNYA# Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun. Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya. Laqab lainnya, ia mendapat gelar al Imam dan al Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al ‘Ishmah (ma’shum) hanyalah milik Nabi. Imam Ja’far ash Shadiq dikarunia beberapa anak. Mereka adalah: Isma’il (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), ‘Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al Kazhim [1], Ishaq, Muhammad, ‘Ali dan Fathimah. Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati. Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan. Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin. #PERJALANAN KEILMUANNYA# Imam Ja’far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as Sa’idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi’in ‘Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, ‘Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan ‘Abdullah bin Abi Rafi’ serta ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran. Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu ‘Amr bin al ‘Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi, Sufyan ats Tsauri, Syu’bah bin al Hajjaj, Sufyan bin ‘Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi. Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih. Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Abu Hanifah berkata,”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.” Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta’dil (2/487) berkata,”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.” Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba’ Tabi’in dan ulama Madinah”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan : “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”. (Lihat Minhaju as Sunnah, 2/245). Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja’far ash Shadiq. #JA’FAR ASH SHADIQ TIDAK MUNGKIN MENCELA ABU BAKAR DAN ‘UMAR# Adapun Syi’ah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash Shadiq. Golongan Syi’ah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah. Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash Shadiq terhadap Abu Bakr dan ‘Umar bin al Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakek (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya. ‘Abdul Jabbar bin al ‘Abbas al Hamdani berkata,”Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata,’Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.” Ad Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan ‘Umar, ia berkata,’Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.” Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syi’ah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, ‘Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah. Imam Ja’far ash Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma` bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegah teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash Shiddiq. Ja’far sendiri berkata : “Abu Bakar melahirkan diriku dua kali”. Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya. #KLAIM BOHONG SYIAH ATAS JA’FAR ASH SHADIQ# Pada masanya, bid’ah al Ja’d bin Dirham dan pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syi’ah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al Qur`an adalah makhluk. Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja’far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya. Ibnu Taimiyyah berkata,”Syi’ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti ‘Ali bin al Husain Zainal ‘Abidin, Abu Ja’far al Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan ‘Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan ‘Umar.” Tokoh-tokoh Syi’ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al ‘adl”. Klaim kaum Syi’ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja’far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu. Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan “taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka. Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far ash Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini.Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja’far ash Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan. Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat. Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya. Golongan Syi’ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja’far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja’far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash Shadiq. Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi’ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta’an. Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan: “Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al Baqir, Ja’far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya”. Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162). #Masyayikh Tarekat: Imam Ja’far ash-Shadiq, Guru para Guru Sufi# Imam Ja’far ash-Shadiq menjadi masyayikh (guru sufi, red) Naqsyabandiyah setelah Imam Al-Qasim bin Muhammad, juga masyayikh Qadiriyah-Naqsyabandiyah dan tarekat Syathariyah setelah Imam Muhammad al-Baqir. Setelah Imam Ja’far as-Shadiq diturunkan kepada Abu Yazid al-Busthami, lalu kepada Muhamamd al-Maghribi, merupakan silsilah Syathariyah; dan setelah Imam Ja’far ash-Shadiq diturunkan kepada Imam Musa al-Kazhim menjadi silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Baik tarekat Syathariyah ataupun Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah cabang tarekat Imam Ali dari jalan Imam Husein bin Ali. Abul Hasan Ali al-Hujwiri, pengarang Kasyful Mahjub dan salah satu guru tarekat Junaidiyah dari jalan Abul Fadhal Muhammad bin Hasan al-Kuttali, menyebut Imam Ja’far ash-Shadiq sebagai “terkenal di antara syekh sufi, karena kedalaman ajarannya dan pengetahuannya akan kebenaran spiritual, dan beliau telah menuliskan buku terkenal yang menjelaskan sufisme. Menurut al-Hujwiri, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq berkata: “Siapa pun yang mengetahui Allah, maka dia berpaling dari semua yang selainnya.” Orang arif berpaling dari yang lain (kecuali Allah) dan terputus dari semua urusan duniawi, karena pengetahuannya (ma’rifat) adalah sesuatu yang nakirah, karena nakirah bagian dari pengetahuannya, dan pengetahuan menjadi bagian dari nakirah-nya. Dengan demikian orang arif terpisah dari manusia dan pikiran tentangnya, dan dia menyatu dengan ilahi. Yang lain tidak memiliki tempat di hatinya, sedikitpun tidak boleh mengalahkan perhatiannya, dan eksistensinya tidak memiliki arti apa-apa baginya, dan bahwa dia harus menghilangkan ingatan pikiran darinya.” Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Thalib. Dengan mengutip Abu Bakar al-Jabir dan al-Lalika’i menyebut beliau dilahirkan tahun 80 H (697 M). Beliau memiliki hubungan dengan keluarga Imam Ali dari jalur ayah, dan dari jalur ibu memiliki hubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Nama Ummu Farwah itu adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Oleh karena itu, al-Munawi dalam al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajim Sadatish Shufiyah dan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengutip pernyataan Imam Ja’far ash-Shadiq berhubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq: “Abu Bakar telah melahirkan saya dua kali.” Dari sini dapat dipahami bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq adalah cucunya Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, dari jalur ibunya. Sanad Keilmuan Imam Ja’far mengambil ilmu dari banyak para tabi’in, di antaranya sebagaimana disebut al-Mizzi adalah kakeknya sendiri (dari pihak ibu) yaitu Al-Qasim bin Muhammad, ayahnya sendiri yang bernama Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Munkadar, Ubaidillah bin Abi Rafi’ (Katibnya Imam Ali), Muslim bin Abi Maryam, dan Naïf Maula Ibnu Umar. Menurut sumber lain, disebutkan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq sempat bertemu dengan beberapa sahabat yang berumur panjang, seperti Anas bin Malik dan Sahl bin Said. Orang-orang dan tokoh yang mengambil ilmu dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dan karenanya menjadi muridnya, banyak sekali, dan di antaranya: Aban bin Taghlab, Isma`il bin Ja’far, Hatim bin Isma`il, Al-Hasan bin Iyasy, Al-Hasan bin Shalih, Abu Bakar bin Iyasy, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin `Uyainah, Said bin Sufyan al-Aslami, Sulaiman bin Bilal, Syu’bah bin Hajjaj, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Musa bin Ja’far al-Kazim, Abu Hanifa an-Nu’man, Wuhaib bin Khalid, dan lain-lain. Integeritas Imam Ja’far ash-Shadiq, diakui banyak pakar jarah-ta’dil, sufi, dan para faqih. Musab bin Abdullah bin Zubair dari ad-Darwadi mengatakan: “Malik tidak meriwayatkan dari Imam Ja’far sampai munculnya Bani Abas.” Imam Syafi`i menyebut Ja’far ash-Shadiq sebagai tsiqatun. Yahya bin Ma`in menggelarinya tsiqatun. Riwayat-riwayat yang disandarkan dari perkataan Imam Ja’far, dan dikutip al-Mizzi menyebutkan, beliau mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dan berlepas diri dari orang yang tidak mengakuinya. Selain memiliki murid-murid di bidang hadits dan fiqih, Imam Ja’far memiliki murid-murid tarekat, yang terkenal dan bertahan periwayatan sanadnya hingga sekarang ada dua: Imam Musa al-Kazhim dan Abu Yazid al-Busthami, yang telah disebutkan di atas. Dari Abu Yazid menjadi Naqsyabandiyah dan Syathariyah; dan dari Imam Musa al-Kazim menjadi Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Keramat dan Petuah Di antara beberapa karamat Imam Ja’far ash-Shadiq, cukup banyak dan disebutkan dalam banyak kitab thabaqat sufi, dan di antaranya disebutkan al-Munawi dalam Al-Kawakibud Durriyah dan Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam Ath-Thabaqatul Kubra. Abdul Wahab asy-Sya’rani menyebutkan: “Setiap kali dia membutuhkan sesuatu dia mengatakan: “Duhai Tuhan, Duhai Tuhan, aku membutuhkan sesuatu.” Sebelum doanya selesai ditengadahkan, sesuatu yang diminta Ja’far itu sudah ada di sampingnya.” Al-Munawi memperkuat cerita keramat Imam Ja’far ash-Shadiq, berdasarkan kesaksian dari Al-Laits bin Sa`ad yang bercerita: “Pada tahun 113 H., aku berhaji ke Makkah. Pada suatu hari setelah sholat ashar, aku naik ke puncak Jabal Abu Qubais. Tiba-tiba aku melihat seseorang (Ja’far Shadiq) yang duduk bersimpuh sambil berdoa: “Ya Rabb ya Rabb sampai (hampir) terputus napasnya.” Kemudian berkata: “Ya Hayyu Ya Hayyu, sampai (hampir) terputus napasnya.” Kemudian dia berkata “Ilahi aku ingin buah anggur segar, maka berilah aku makan yang engkau ciptakan.” Al-Laits kemudian berkata: “Tatkala perkataannya telah selesai, aku melihat wadah yang penuh anggur…” (KDTSS, I: 179) Sedangkan beberapa perkataan Imam Ja’far ash-Shadiq dijadikan pegangan banyak ulama sufi, para pejalan di jalan Allah, dan para faqih, di antaranya disebutkan al-Munawi dan Abdul Wahab asy-Syarani: “Tidak akan sempurna ma’rifat yang diketahui kecuali dengan tiga perkara: engkau mengecilkan dalam pandanganmu (amalamu jangan dilihat terus menerus sebagai hal besar), engkau menyembunyikannya (dirimu dipendam dengan berbagai amal, wirid, dan tafakur), dan engkau menyegerakannya (selalu ingat untuk melakukan kebaikan)” “Tidak ada musibah yang paling besar/paling agung daripada kebodohan.” “Barang siapa yang bersahabat dengan sahabat pelaku kekejian/keburukan, dia tidak akan selamat, Barang siapa yang masuk ke tempat keburukan, dia akan dituduh, Barang siapa yang tidak memiliki lisan (untuk terus berbicara), dia akan banyak melakukan penyesalan.” “Saat dunia menghampiri seseorang, maka dunia akan memberinya kebaikan-kebaikan orang lain. Apabila dunia berpaling darinya dunia akan memotong/mencabut kebaikan-kebaikan dirinya.” “Barang siapa yang lambat rezekinya perbanyaklah istighfar.” “Allah pernah berwahyu kepada dunia, agar melayani orang-orang yang melayani Allah, dan mempersulit orang-orang yang menjadi pelayan dunia.” “Jika kamu melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfar, karena kesalahan-kesalahan itu akan dikalungkan di leher seseorang sebelum diciptakan. Serusak-rusaknya suatu kerusakan adalah melanggengkan perbuatan dosa.” Imam Ja’far ash-Shadiq wafat di Madinah pada tahun 148 H., dengan meninggalkan banyak murid yang tersebar di banyak wilayah, baik dalam periwayatan hadits, fiqh dan tarekat. Dalam hal tarekat, Imam Ja’far ash-Shadiq selain dihubungkan dengan silsilah tarekat di atas (Naqsyabandiyah dan Syathariyah), yang dikenal memberikan tarekat kepada Abu Yazid al-Busthami; juga dikenal memberikan tarekat Imam Ali kepada anaknya, Musa al-Kazhim dan diturunkan kepada Ali ar-Ridha, dan diturunkan kepada Maruf al-Karkhi dan seterusnya, sebagaimana tradisi ini dipercayai dalam silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Imam Ja’far ash-Shadiq wafat tahun 148 H. (765 M.) Anak-anak beliau menurut kitab Syamsuzh Zhahirah ada 13 laki-laki dan 7 perempuan, dan di antara mereka, yang memiliki sambungan keturunan hingga saat ini, yaitu: Muhammad al-Al-Akbar diberi laqab ad-Dibajah (hidup pada masa Khalifah al-Ma’mun), Ishaq diberi laqab al-Mu’tamin, Musa al-Kazhim, dan Ali al-Uraidhi (yang terkecil umurnya dari anak-anaknya). Tarekatnya diteruskan oleh Abu Yazid dan Imam Musa al-Kazhim. (Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/masyayikh-tarekat-imam-ja-far-ash-shadiq-guru-para-guru-sufi-j9cF1). Blog ini dibuat dengan tujuan untuk menambah ilmu si Pembaca, tidak ada keuntungan Ekonomi sedikitpun yang diperoleh dari Pembuat. Tulisan diatas merupakan gabungan beberapa artikel dan ditulis juga sumbernya.

Comments

Popular posts from this blog

Ling Tien Kung dan Syari'at Islam (H. Yudhi)

Abu Bakar Siddiq RA (H. Yudhi)

Realisme Ilmu Hubungan Internasional (H. Yudhi)